Minggu, 18 Juli 2010

                                              

                Tukar Pasangan ABG

Aku terbangun karena hp ku berdering. Kulihat Dina, abg smu yang kugarap semalam masih terlelap. Toketnya yang montok bergerak seiring dengan tarikan napasnya. Pengen aku menggelutinya lagi, tetapi temanku Ardi sedang menunggu diujung hp. Aku keluar kamar supaya Dina gak terganggu dengan pembicaraanku. “Baru bangun ya”, terdengar suara Ardi diujung sana.
“Iya, mau ngapain pagi gini dah nelpon, masih ngantuk”, jawabku. “Gini ari baru bangun, udah jam 10 nih. Pasti ngegarap abg”. “La iya lah”, jawabku. “Ada apa”. “Tuker abg yuk, aku semalam main ama pembantu sebelah”. “Pembantu? emangnya gak ada cewek yang lain”, kataku, rada
kesel. Masak Dina mau dituker ama pembantu. Tunggu dulu, biar pembantu Ines cantik kaya anak gedongan. Bodinya montok banget dan napsunya gede banget, maunya terus2an main. Kamu pasti puas lah main ama dia”. “Masak sih, kalo cewekku Dina, anak SMU, montok dan binal kalo di ranjang”, jawabku lagi. “Ya udah, kita tukeran pasangan aja, mau enggak. Kalo mau aku ama Ines cabut kerumahmu sekarang”. Aku tertarik juga dengan tawaran, pengen juga aku ngeliat kaya apa sih pembantu yang katanya kaya anak gedongan. “Ok, dateng aja”. Pembicaraan terhenti. Aku kembali ke kekamar. Dina udah bangun. “Ada apa om, mau maen lagi gak”, katanya sambil
tersenyum. “Belum puas semalem ya Din. Temen om tadi nelpon ngajakin om tuker pasangan. Dina mau gak maen ama temennya om. Dia juga ahli kok nggarap cewek abg kaya Dina”, jawabku. “Kalo nikmat ya Dina sih mau aja”, Dina bangun dari tempat tidur dan masuk kamar mandi. Aku menyusulnya. Sebenarnya aku napsu lagi ngeliat Dina yang masih telanjang bulat, tetapi karena Ines mau dateng ya aku tahan aja napsuku. Kita mandi sama sambil saling menyabuni sehingga penisku ngaceng lagi. “Om, penisnya ngaceng lagi tuh, maen lagi yuk”, ajak Dina sambil ngocok penisku. “Kan Dina mau maen ama temennya om, nanti aja maennya. Temen om ama ceweknya lagi
menuju kemari”, jawabku. Sehabis mandi, kita sarapan dulu. Dina tetep aja bertelanjang bulat sementara aku cuma pake celana pendek saja. Selesai makan aku menarik Dina saung dipinggir kolam renang yang ada dibelakang
rumahku. Dina kupeluk dan kuciumi sementara tanganku sibuk meremes2 toket montoknya. Dinapun gak mau kalah, penisku digosok2nya dari luar celana
ku. Sedang asik, Ardi dan Ines datang. Ardi sudah biasa kalo masuk rumahku langsung nyelonong kedalem, karena kami punya kunci rumah masing2. Ines ternyata cantik juga, seperti bintang sinetron berdarah arab yang aku lupa namanya. Ines make pakean ketat, sehingga toketnya yang besar tampak sangat menonjol. Pantatnya yang besar juga tampak sangat menggairahkan. Ines terkejut melihat Dina yang bertelanjang bulat. Kuperkenalkan Dina pada Ardi, Ardi langsung menggandeng Dina masuk ke rumah.
“Nes, Ardi bilang dia nikmat banget makelove sama kamu, nonok kamu bisa ngempot ya, aku jadi kepingin ngerasain diempot juga”, kataku sambil mencium pipinya. “Nes, kamu napsuin banget, toket besar dan pantat juga besar”. “Dina kan juga napsuin pak”, jawabnya sambil duduk disebelahku di dipan. “Jangan panggil pak dong, panggil om. Kan saya belum tua”, kataku sambil memeluknya. Kucium pipinya sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya. Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku. Kupandangi wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung lalu bibirnya.
Tak tahan berlama-lama menunggu akhirnya aku mencium bibirnya. Kulumat mesra lalu kujulurkan lidahku. Mulutnya terbuka perlahan menerima lidahku. Lama aku mempermainkan lidahku di dalam mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku, sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tidak beraturan. Sesaat ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berpagutan lagi dan lagi. Kubelai pangkal lengannya yang terbuka. Kubuka telapak tanganku sehingga jempolku bisa menggapai permukaan dadanya sambil membelai pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu lehernya seiring telapak tanganku meraup toketnya. Ines menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulutnya di saat lidahku menjulur menikmati lehernya yang jenjang.
“Om….” Ines memegang tanganku yang sedang meremas toketnya dengan penuh napsu. Bukan untuk mencegah, karena dia membiarkan tanganku mengelus dan meremas toketnya yang montok. “Nes, aku ingin melihat toketmu”, ujarku sambil mengusap bagian puncak toketnya yang menonjol.
Dia menatapku. Ines akhirnya membuka tank top ketatnya di depanku. Aku terkagum-kagum menatap toketnya yang tertutup oleh BH berwarna hitam. Toketnya begitu membusung, menantang, dan naik turun seiring dengan desah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Ines membuka pengait
BH-nya di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Ines ketika dia mencoba untuk menurunkan tali BH-nya dari atas pundaknya. Justru dengan keadaan BH-nya yang longgar karena tanpa
pengait seperti itu membuat toketnya semakin menantang. “toketmu bagus, Nes”, aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. Perlahan aku menarik turun cup BH-nya. Mata Ines terpejam. Perhatianku terfokus ke pentilnya yang berwarna kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar sedang ujungnya begitu runcing dan kaku. Kuusap pentilnya lalu kupilin dengan jemariku. Ines mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi toketnya. “Egkhh..”
rintih Ines ketika mulutku melumat pentilnya. Kupermainkan dengan lidah dan gigiku. Sekali-sekali kugigit pentilnya lalu kuisap kuat-kuat sehingga membuat Ines menarik rambutku. Puas menikmati toket yang sebelah kiri, aku mencium toket Ines yang satunya yang belum sempat kunikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan keluar dari mulut Ines. Sambil menciumi toket Ines,
tanganku turun membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan turun mengitari lembah di bawah perut Ines. Kubelai pahanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk meraba nonoknya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan
Ines. Aku secara tiba-tiba menghentikan kegiatanku lalu berdiri di samping dipan.
Ines tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka kancing jeans warna hitamnya. Aku masih berdiri sambil memandang tubuh Ines yang tergolek di dipan, menantang. Kulitnya yang tidak terlalu putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat yang dipakainya terlihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekukan pantatnya yang sempurna. Puas memandang tubuh Ines, aku lalu membaringkan tubuhku di sampingnya. Kurapikan untaian rambut yang menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Ines. Kubelai lagi toketnya. Kucium bibirnya sambil kumasukkan air liurku ke dalam mulutnya. Ines menelannya. Tanganku turun ke bagian perut lalu menerobos masuk melalui pinggang celana jeans Ines yang memang agak longgar. Jemariku
bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan Ines yang masih tertutup CDnya. jari tengah tanganku membelai permukaan CDnya tepat diatas nonoknya, basah. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik bagian yang paling pribadi tubuh Ines. Pinggul Ines perlahan bergerak ke kiri, ke kanan dan sesekali bergoyang untuk menetralisir ketegangan yang dialaminya. aku menyuruh Ines untuk membuka celana jeans yang dipakainya. Ines menurunkan reitsliting celana jeansnya. CD hitam yang dikenakannya begitu mini sehingga jembut keriting yang tumbuh di sekitar nonoknya hampir sebagian keluar dari pinggir CDnya. Aku membantu menarik turun celana jeans Ines. Pinggulnya agak dinaikkan ketika aku agak kesusahan menarik celana jeans Ines. Akupun melepas celana pendekku. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan CD. Tubuhnya semakin seksi
saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus kuakui tubuhnya begitu menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal. Kami berpelukan. Kutarik tangan kirinya untuk menyentuh penisku dari luar CD ku. “Oh..” Ines menyentuh penisku yang tegang. “Kenapa, Nes?” tanyaku.
Ines tidak menjawab, malah melorotkan CD ku. Langsung penisku yang panjangnya kira-kira 18 cm serta agak gemuk dibelai dan digenggamnya. Belaiannya begitu mantap menandakan Ines juga begitu piawai dalam urusan yang satu ini. “Tangan kamu pintar juga ya, Nes,”´ ujarku sambil memandang tangannya yang mengocok penisku. “Ya, mesti dong!” jawabnya sambil cekikikan. “Om sama Dina semalem maen berapa kali?” tanyanya sambil terus mengurut-urut kon tolku. “Kamu sendiri semalem maen berapa kali sama Ardi?” aku malah balik berrtanya. Mendapat pertanyaan seperti itu entah kenapa nafsuku tiba-tiba semakin liar. Ines akhirnya bercerita kalau Ardi napsu sekali tadi malem menggeluti dia. Mau berapa kali Adif meminta, Ines pasti melayaninya. Mendengar perjelasan begitu jari-jariku masuk dari samping CD langsung menyentuh bukit nonok Ines yang sudah basah. Telunjukku
membelai-belai itilnya sehingga Ines keenakan. “Kamu biasa ngisep kan, Nes?” tanyaku. Ines tertawa sambil mencubit penisku. Aku meringis. “Kalo punya
om mana bisa?” ujarnya. “Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran. “Nggak muat di mulut Ines,” selesai berkata demikian Ines langsung tertawa kecil. “Kalau yang dibawah, gimana, muat gak?” tanyaku lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam nonoknya. Ines merintih sambil memegang
tanganku. Jariku sudah tenggelam ke dalam liang nonoknya. Aku merasakan nonoknya berdenyut menjepit jariku. Ugh, pasti nikmat sekali kalau penisku yang diurut, pikirku. Segera CD nya kulepaskan.
Perlahan tanganku menangkap toketnya dan meremasnya kuat. Ines meringis. Diusapnya lembut penisku yang sudah keras banget. Tangannya begitu kreatif mengocok penisku sehingga aku merasa keenakan. Aku tidak hanya tinggal diam, tanganku membelai-belai toketnya yang montok. Kupermainkan pentilnya dengan jemariku, sementara tanganku yang satunya mulai meraba jembut lebat di sekitar nonok Ines. kuraba permukaan nonok Ines. Jari tengahku mempermainkan itilnya yang sudah mengeras. penisku kini sudah siap tempur dalam genggaman tangan Ines, sementara nonok Ines juga sudah mulai mengeluarkan cairan kental yang kurasakan dari jemari tanganku
yang mengobok-obok nonoknya. Kupeluk tubuh Ines sehingga penisku menyentuh pusarnya. Tanganku membelai punggung lalu turun meraba pantatnya yang montok. Ines membalas pelukanku dengan melingkarkan tangannya di pundakku. Kedua telapak tanganku meraih pantat Ines, kuremas
dengan sedikit agak kasar lalu aku menaiki tubuhnya. Kaki Ines dengan sendirinya mengangkang. Kuciumi lagi lehernya yang jenjang lalu turun melumat toketnya. Telapak tanganku terus membelai dan meremas setiap lekuk dan tonjolan pada tubuh Ines.
Aku melebarkan kedua pahanya sambil mengarahkan penisku ke bibir nonoknya. Ines mengerang lirih. Matanya perlahan terpejam. Giginya menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju birahinya yang semakin kuat. Ines menatapku, matanya penuh nafsu seakan memohon kepadaku untuk memasuki nonoknya. “Aku ingin memakelovei kamu, Nes” bisikku pelan, sementara kepala penisku masih menempel di belahan nonok Ines. Kata ini ternyata membuat wajah Ines memerah. Ines menatapku sendu lalu
mengangguk pelan sebelum memejamkan matanya. aku berkonsentrasi penuh dengan menuntun penisku yang perlahan menyusup ke dalam nonok Ines. Terasa seret, memang, nikmat banget rasanya. Perlahan namun pasti penisku membelah nonoknya yang ternyata begitu kencang menjepit penisku. nonoknya begitu licin hingga agak memudahkan penisku untuk menyusup lebih ke dalam. Ines memeluk erat tubuhku sambil membenamkan
kuku-kukunya di punggungku hingga aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli. “Om, gede banget, ohh..” Ines menjerit lirih. Tangannya turun menangkap penisku. “Pelan om”. Soalnya aku tahu pasti ukuran penis Ardi tidaklah sebesar yang kumiliki. Akhirnya penisku terbenam juga di dalam nonok Ines. Aku berhenti sejenak untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul akibat kontraksi otot-otot dinding nonok Ines. Denyutan itu begitu kuat sampai-sampai aku memejamkan mata untuk merasakan kenikmatan yang begitu sempurna. Kulumat bibir Ines sambil perlahan-lahan menarik penisku untuk selanjutnya kubenamkan lagi. Aku menyuruh Ines membuka kelopak matanya. Ines menurut. Aku sangat senang melihat matanya yang semakin sayu menikmati penisku yang keluar masuk dari dalam nonokya. “Aku suka nonokmu, Nes.. nonokmu masih rapet” ujarku sambil merintih keenakan.
Sungguh, nonok Ines enak sekali. “Kamu enak kan, Nes?” tanyaku lalu dijawab Ines dengan anggukan kecil. Aku menyuruh Ines untuk menggoyangkan
pinggulnya. Ines langsung mengimbangi gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada pinggangnya. “Suka penisku, Nes?” tanyaku lagi. Ines hanya tersenyum. penisku seperti diremas-remas ditambah jepitan nonoknya. “Ohh.. hh..” aku menjerit panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku
mencoba mengangkat dadaku, membuat jarak dengan dadanya dengan bertumpu pada kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa untuk mengeluar-masukkan penisku ke dalam nonok Ines.
Kuperhatikan penisku yang keluar masuk dari dalam nonoknya. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Ines semakin melebarkan kedua pahanya
sementara tangannya melingkar erat di pinggangku. Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi goyangan pinggul Ines yang semakin tidak terkendali. “Nes.. enak banget, kamu pintar deh.” ucapku keenakan. “Ines juga, om”, jawabnya. Ines merintih dan mengeluarkan erangan-erangan
kenikmatan. Berulang kali mulutnya mengeluarkan kata, “aduh” yang diucapkan terputus-putus. Aku merasakan nonok Ines semakin berdenyut sebagai pertanda Ines akan mencapai puncak pendakiannya. Aku juga merasakan hal yang sama dengannya, namun aku mencoba bertahan dengan menarik nafas dalam-dalam lalu bernafas pelan-pelan untuk menurunkan daya rangsangan yang kualami. Aku tidak ingin segera menyudahi permainan ini hanya dengan satu posisi saja. Aku mempercepat goyanganku ketika kusadari Ines hampir nyampe. Kuremas toketnya kuat seraya mulutku menghisap dan menggigit pentilnya. Kuhisap dalam-dalam. “Ohh.. hh.. om..” jerit Ines panjang. Aku membenamkan penisku kuat-kuat ke nonoknya sampai mentok agar Ines mendapatkan kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya melengkung indah dan untuk beberapa saat lamanya tubuhnya kejang. Kepalaku ditarik kuat terbenam diantara toketnya. Pada saat tubuhnya
menyentak-nyentak aku tak sanggup untuk bertahan lebih lama lagi. “Nes, aakuu.. keluaarr, Ohh.. hh..” jeritku. Ines yang masih merasakan orgasmenya mengunci pinggangku dengan kakinya yang melingkar di pinggangku. Saat itu juga aku memuntahkan peju hangat dari penisku. Kurasakan tubuhku bagai
melayang. secara spontan Ines juga menarik pantatku kuat ke tubuhnya. Mulutku yang berada di belahan dada Ines kuhisap kuat hingga meninggalkan bekas merah pada kulitnya. Telapak tanganku mencengkram toket Ines.
Kuraup semuanya sampai-sampai Ines kesakitan. Aku tak peduli lagi. Aku merasakan nikmat yang tiada duanya ditambah dengan goyangan pinggul Ines pada saat aku mengalami orgasme. Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di atas tubuh Ines. penisku masih berada di dalam no nok Ines. Ines mengusap-usap permukaan punggungku. “Ines puas sekali dientot om,” katanya. Aku kemudian mencabut penisku dari nonoknya.
Dari dalam Ardi keluar sudah berpakaian lengkap. “Pulang yuk Nes, sudah sore”, ajaknya. Aku masuk kembali ke kamar. Dina ada di kamar mandi dan
terdengar shower nyala. Aku bisa mendengarnya karena pintu kamar mandi tidak ditutup. Tak lama kemudian, shower terdengar berhenti dan Dina keluar. Ganti aku yg masuk ke kamar mandi, aku hanya membersihkan tubuhku. Keluar dari kamar mandi, Dina berbaring diranjang telanjang bulat. “Kenapa Din, lemes ya dientot Ardi”, kataku. “Lebih enak makelove sama om, penis om lebih besar soalnya”, jawab Dina tersenyum. “Malem ini kita men lagi ya
om”. Hebat banget Dina, gak ada matinya. Pengennya dientot terus. “Ok aja, tapi sekarang kita cari makan dulu ya, biar ada tenaga bertempur lagi nanti malem”, kataku sambil berpakaian. Dina pun mengenakan pakaiannya dan
kita pergi mencari makan malem. Kembali ke rumah sudah hampir tengah malem, tadi kita selain makan santai2 di pub dulu.
Di kamar kita langsung melepas pakaian masing2 dan bergumul diranjang. Tangan Dina bergerak menggenggam penisku. Aku melenguh seraya menyebut namanya. Aku meringis menahan remasan lembut tangannya pada penisku. Dina mulai bergerak turun naik menyusuri penisku yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjuknya mengusap kepala penisku yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari lubang diujungnya. Kembali aku melenguh merasakan ngilu akibat usapannya. Kocokannya semakin cepat. Dengan lembut aku mulai meremas-remas toketnya. Tangan Dina menggenggam penisku dengan erat. Pentilnya kupilin2. Dina masukan penisku kedalam mulutnya dan mengulumnya. Aku terus menggerayang toketnya, dan mulai menciumi toketnya. Napsuku semakin berkobar. Jilatan dan kuluman Dina pada penisku semakin mengganas sampai-sampai aku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutnya. Aku membalikkan tubuhnya hingga berlawanan dengan posisi tubuhku. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Lidahku menyentuh nonoknya dengan lembut. Tubuhnya langsung bereaksi dan tanpa sadar Dina menjerit lirih. Tubuhnya meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidahku di nonoknya. Kedua pahanya
mengempit kepalaku seolah ingin membenamkan wajahku ke dalam nonoknya. penisku kemudian dikempit dengan toketnya dan digerakkan maju mundur, sebentar. Aku menciumi bibir nonoknya, mencoba membukanya dengan
lidahku. Tanganku mengelus paha bagian dalam. Dina mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakinya yang tadinya merapat.
Aku menempatkan diri di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. penis kutempelkan pada bibir nonoknya. Kugesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Dina merasa ngilu bercampur geli dan nikmat. nonoknya yang sudah banjir membuat gesekanku semakin lancar karena licin. Dina terengah-engah merasakannya. Aku sengaja melakukan itu. Apalagi saat kepala penisku menggesek-gesek itilnya yang juga sudah menegang.
“Om.?” panggilnya menghiba. “Apa Din”, jawabku sambil tersenyum melihatnya tersiksa. “Cepetan..” jawabnya. Aku sengaja mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan penis. Sementara Dina benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahinya. “Dina sudah pengen dientot om”, katanya. Dina melenguh merasakan desakan kon tolku yang besar itu. Dina menunggu
cukup lama gerakan penisku memasuki dirinya. Serasa tak sampai-sampai. Maklum aja, selain besar, penisku juga panjang. Dina sampai menahan nafas saat penisku terasa mentok di dalam, seluruh penisku amblas di dalam. Aku mulai menggerakkan pinggulnya pelan2. Satu, dua dan tiga enjotan mulai berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam nonoknya membuat
penisku keluar masuk dengan lancarnya. Dina mengimbangi dengan gerakan pinggulnya. Meliuk perlahan. Naik turun mengikuti irama enjotanku. Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting enjotanku mencapai bagian-bagian peka di no oknya. Dina bagaikan berada di surga merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. penisku menjejali penuh seluruh nonoknya, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan penisku sangat terasa di seluruh dinding nonoknya. Dina merintih, melenguh dan mengerang merasakan semua kenikmatan ini. Dina mengakui keperkasaan dan kelihaianku di atas ranjang. Yang pasti Dina merasakan kepuasan tak terhingga makelove denganku. Aku bergerak semakin cepat. penisku bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitivenya. Dina meregang tak kuasa menahan
napsu, sementara aku dengan gagahnya masih mengayunkan pinggulku naik turun, ke kiri dan ke kanan. Erangannya semakin keras. Melihat reaksinya, aku
mempercepat gerakanku. penisku yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya. Tubuhnya sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Dina meraih tubuhku untuk didekap. Direngkuhnya seluruh tubuhku
sehingga aku menindih tubuhnya dengan erat. Dina membenamkan wajahnya di samping bahuku. Pinggul nya diangkat tinggi-tinggi sementara kedua tangannya menggapai pantatku dan menekannya kuat-kuat. Dina meregang. Tubuhnya mengejang-ngejang. “om..”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya saking dahsyatnya kenikmatan yang dialaminya bersamaku. Aku menciumi wajah dan bibirnya.
Dina mendorong tubuhku hingga terlentang. Dia langsung menindihku dan menciumi wajah, bibir dan sekujur tubuhku. Kembali diemutnya penisku yang masih tegak itu. Lidahnya menjilati, mulutnya mengemut. Tangannya mengocok-ngocok penisku. Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, Dina langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuhku. nonoknya berada persis di atas penisku. “Akh!” pekiknya tertahan ketika penisku dibimbingnya memasuki nonoknya. Tubuhnya turun perlahan-lahan, menelan seluruh penisku. Selanjutnya Dina bergerak seperti sedang menunggang kuda.
Tubuhnya melonjak-lonjak. Pinggulnya bergerak turun naik. “Ouugghh.. Din.., luar biasa!” jeritku merasakan hebatnya permainannya. Pinggulnya mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tanganku mencengkeram kedua toketnya, kuremas dan dipilin-pilin. Aku lalu bangkit setengah duduk. Wajah kubenamkan ke dadanya. Menciumi pentilnya. Kuhisap kuat-kuat sambil kuremas-remas. Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan. Kami
tidak lagi merasakan panasnya udara meski kamar menggunakan AC. Tubuh kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi lengket satu sama lain. Dina berkutat mengaduk-aduk dengan pinggulnya. Aku menggoyangkan pantatku.
Tusukan penisku semakin cepat seiring dengan liukan pinggulnya yang tak kalah cepatnya. Permainan kami semakin meningkat dahsyat. Sprei ranjang sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak terkendali. AKu merasa pejuku udah mau nyembur. Aku semakin bersemangat memacu pinggulku untuk bergoyang. Tak selang beberapa detik kemudian,
Dina pun merasakan desakan yang sama. Dina terus memacu sambil menjerit-jerit histeris. Aku mulai mengejang, mengerang panjang. Tubuhnya menghentak-hentak liar. Akhirnya, pejuku nyemprot begitu kuat dan banyak
membanjiri nonoknya. Dina pun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam dirinya. Sambil mendesakan pinggulnya kuat-kuat, Dina berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan berbarengan denganku. Tubuh kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat. “om., nikmaat!” jeritnya tak tertahankan. Dina lemes, demikian pula aku. Tenaga terkuras habis dalam pergulatan yang ternyata memakan waktu lebih dari 1 jam!
akhirnya kami tertidur kelelahan.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar